Tadi malam saya berusaha mengingat-ingat dan mencari tahu lewat google, bagaimana sebenarnya hidung kita mendeteksi bebauan, dan mengapa bebauan itu sangat mudah memanggil kenangan. Saya menemukan beberapa info tentang bagaimana nostril kita bekerja untuk mengenali dan mendefinisikan bebauan. Saya menemukan pula bahwa kenangan yang datang karena kita mencium bebauan itu kerap disebut pula sebagai Proustian memory, mengacu pada novelis Marcel Proust, yang dalam novelnya Swan’s Way melukiskan datangnya kenangan akibat bebauan itu dengan sangat memukau.
‘Ask Your Heart’
Saya termasuk yang percaya betul bahwa kebenaran bisa didapat dari mana saja. Dalam keyakinan Islam, perintah dan petunjuk Allah ada dalam ayat qauliah (yakni kitab-kitab suci-Nya) dan dalam ayat kauniah (yakni fenomena alam –dan sosial– yang akan memetakan kebenaran bagi sesiapapun yang mau mempelajarinya). Kedua ayat itu memiliki pintu dengan satu anak kunci yang sama, yakni kemampuan untuk membaca –baik membaca aksara maupun membaca fenomena– dan hati yang senantiasa terbuka.
Gus Dur, lagi-lagi
[Catatan ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat]
Konflik di ‘sayap politik’ NU rupanya masih jauh dari usai. Hingar-bingar rivalitas politik masih saja terdengar dari sana. Baru-baru ini kita melihat letupan konflik yang sangat terbuka antara Gus Dur dan Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB yang sebelumnya kadang disebut-sebut sebagai ‘anak ideologis’ Gus Dur.
Padahal rasanya baru kemarin, dalam konfliknya dengan Gus Ipul, Muhaimin tampak dimanja dengan dukungan dari Gus Dur. Kini Gus Dur tak lagi percaya dan tak bersedia memberikan dukungan pada Muhaimin, dan alih-alih menudingnya sebagai agen SBY yang hendak menyingkirkan deklarator PKB ini dari jabatan Ketua Dewan Syuro. Gus Dur pun mengancam Muhaimin dengan Muktamar Luar Biasa.
Mencari Islam di Australia
[Catatan ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat]
Semenjak Bom Bali yang menewaskan 80an orang Australia, kata terorisme menjadi sangat sensitif dan kadang menakutkan di negeri kanguru ini. Kita di Indonesia kerap merasa bahwa negeri kita adalah korban aksi-aksi teror yang dilakukan oleh extremis. Tapi media massa di Australia tak jarang melukiskan Indonesia sebagai negeri sarang teroris. Celakanya kalau mereka menyebut teroris, gambaran tipikal yang diberikan adalah sosok berjubah dan berjenggot ala Osama bin Laden. Kadang menjadi Muslim di Australia, apalagi jika ia berpenampilan seperti gambaran tipikal tersebut, tak selalu menyenangkan.
Perempuan di Jagad Maya
Saya mengagumi banyak sekali figur perempuan dalam sejarah dan peradaban manusia. Saya menghormati perempuan agung, Maryam binti Imran, yang kisahnya diabadikan sebagian dalam surat Ali Imran, dan terlebih lagi dalam surat Maryam yang memang didedikasikan padanya. Saya mengagumi keteguhan hati Fatimah Azzahra binti Muhammad Rasulullah s.a.w. Perempuan inilah ‘katub penyeimbang’ dalam pembilahan besar di tubuh ummat Islam. Saya juga kerap merenungi garis hidup seorang perempuan setengah misterius dalam sejarah Kristen bernama Mariamne al Magdala, yang kata sebagian pendapat adalah Mary the Magdalene atau Maria Magdalena.
Untuk urusan blog dan website pribadi ini, saya sangat berterima kasih pada dua orang perempuan.
Mimpi dan Ruang Publik
Erich Fromm, yang sangat dikenal sebagai tokoh penting di mazhab Frankfurt dalam teori kritis, pernah mengatakan bahwa mimpi adalah sebuah mikroskop yang digunakan manusia untuk melihat kejadian yang tersembunyi dalam jiwanya. Tak jauh dari anggapan Fromm, tokoh yang kerap disebut sebagai bapak psikoanalisis, Sigmund Freud, mengatakan bahwa mimpi adalah perwujudan dari keinginan yang terpendam.
Mimpi, boleh kita katakan, adalah saluran setengah ghaib ketika saluran normal dalam dunia nyata tak bisa kita gunakan. Coba ingat-ingat, jika anda pria, dan dulu sering mengalami mimpi basah, bukankan anda tengah menemukan saluran setengah ghaib bagi kebutuhan biologis anda? Dalam kehidupan sosial dan politik-pun, mimpi ternyata bisa menjadi saluran semacam itu, ketika saluran normal bagi komunikasi politik masih belum berfungsi optimal. Mimpi, ternyata, bisa pula menjadi ruang publik.
Dari manakah datangnya pemimpin dan tokoh dalam setiap masyarakat? Banyak cara orang menjelaskan bagaimana seorang pemimpin ‘tercipta’. Dalam satu cara pandang, pemimpin diyakini muncul karena dibentuk oleh lingkungan. Seseorang menjadi pemimpin karena ia memperoleh gemblengan dan pengalaman untuk memimpin. Kata cara pandang ini, pemimpin itu dibentuk, bukan dilahirkan.
Cara pandang lain menganggap bahwa pemimpin hanya bisa dilahirkan, tak bisa semata-mata dibentuk oleh lingkungannya. Menurut pendapat ini, kepemimpinan hanya bisa muncul dalam jiwa seseorang yang memang dilahirkan sebagai pemimpin atau tokoh. Seseorang ini terlahir sebagai pemimpin karena ia memiliki garis darah sebagai pemimpin dari orang tuanya. Atau paling tidak, ia jelas-jelas menunjukkan watak pemimpin sejak sangat dini.
Plesetan Semantik Politik Indonesia
Pasti kita pernah mendengar (bahkan sering mendengar) kata ‘aparat negara’ atau ‘aparatur negara’. Tahukah kita apa arti kata itu? Aparatur negara adalah sumberdaya manusia penyelenggara negara, begitulah pengertian yang kita punya selama ini. Aparat adalah pegawai. Bahkan dalam penggunaan sehari-hari, kata aparat bisa berkonotasi polisi atau tentara–atau petugas keamanaan pada umumnya. Kalau ditambahi kata ‘oknum’, maka konotasinya jadi sangat jelek. Coba kita renungi frase ‘oknum aparat‘. Apa yang kita rasakan?
Kembali pada makna aparat di atas, di Bappenas ada Direktorat Aparatur Negara, yang tugas pokoknya adalah: “melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, koordinasi, sinkronisasi pelaksanaan penyusunan dan evaluasi perencanaan pembangunan nasional di bidang aparatur Negara, serta pemantauan dan penilaian atas pelaksanaannya.”
‘Batu Jadi Tanaman’
[Catatan ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat]
Sebuah nyanyian lama pernah menggambarkan Indonesia sebagai tanah subur di mana ‘tongkat kayu dan batu jadi tanaman’. Benarkah? Sebagian lahan di negeri ini mungkin tak lagi sesubur itu, namun karakter sosial masyarakat Indonesia, khususnya kalangan Islam, masih tetap lahan subur bagi berkembangnya paham keagamaan. Maka tak perlu kita terlalu heran bahwa ketika perkembangan religio-politik global membawa tema terorisme ke meja diskusi, masyarakat Indonesia tak terlepas dari kaitan dengan hal itu. Hingga kinipun isu terorisme dan kaitannya dengan komunitas Islam di Indonesia tetap hangat dan aktual.