Jumat malam hingga Sabtu dini hari (5-6/10/2012) kemarin, HP saya diramaikan oleh silang informasi. Teman-teman aktivis masyarakat sipil di Jakarta mengabarkan bahwa provos Polri (yang dimaksud adalah Profesi dan Pengamanan [Propam] Polri) menggerebek KPK, untuk menangkap seorang penyidik KPK, anggota Polri berpangkat Kompol. Sejumlah elemen masyarakat sipil sigap berkumpul di KPK, serta saling mengabarkan bahwa mereka akan bersama-sama menjaga KPK dari ‘serbuan’ Polri.
Belajar (ke) Jakarta
Apapun yang dihasilkan oleh Pemilukada DKI Jakarta hari ini, mungkin tak ada efek langsungnya bagi warga DIY ataupun provinsi lainnya. Jokowi atau Foke, yang merasakan untung-ruginya secara langsung adalah warga Jakarta.
Ini cerita tersisa dari mudik lebaran. Beberapa hari menjelang idul fitri, kami sekeluarga berangkat pagi-pagi dari Yogya menuju arah Madura. Dalam perjalanan, tak terlalu jauh dari Yogya, saat melintas di sebuah jalan bypass mobil saya dihentikan oleh seorang petugas patroli jalan raya bersepedamotor. Polisi ini dengan ramah meminta saya minggir. “Melanggar marka jalan,” katanya dengan sangat sopan.
Instrumentasi Kuasa
Mungkin kata instrumentasi ini terdengar sangat teknis dan berbau mesin. Kata ini merujuk pada serangkaian alat, prosedur serta standar yang digunakan untuk memastikan sesuatu berjalan dengan baik. Jika kita mendengar istilah “instrumentasi kekuasaan”, maka yang dimaksud adalah alat, prosedur serta standar yang digunakan untuk memastikan kekuasaan berjalan dengan baik.
Pemimpin Muda
Dua tahun lagi Pilpres. Kita semua tahu itu. Siapa saja calon-calon presiden yang akan memeriahkan pesta 2014 itu? Jika orang ditanya tentang hal ini, mungkin banyak yang bisa menjawab mudah: Ada Prabowo Subianto, ada Wiranto, ada Aburizal Bakrie, mungkin juga ada Jusuf Kalla, Megawati barangkali, atau bisa Ani Yudhoyono. Kira-kira begitu.
Lalu orang mungkin akan mulai tertegun: lho kok isinya pinisepuh semua; kok calonnya seperti tak berubah sejak 10 tahun yang lalu? Kok itu-itu lagi. Kok orang-orang tua lagi. Mereka kini sudah berusia 60an lanjut. Di usia itu Bung Karno sudah dijatuhkan dari kursi kepresidenan oleh kongkalikong CIA dan Soeharto, bukan sedang ribet mencalonkan diri.
Tendangan Euro 2012
Hari-hari ini halaman depan hampir semua harian dimeriahkan oleh berita Euro 2012. Sepakbola sedang menjadi selling news yang dimanfaatkan habis-habisan oleh media massa. Hal ini tentu saja punya rasionalitas yang amat kuat: permainan sepakbola adalah kegemaran jutaan manusia di muka bumi, termasuk Indonesia.
Tulisan ini tak hendak turut menyambut kemeriahan sepakbola ini. Mohon maaf sebesar-besarnya, saya bukan penggemar bola. Tapi tulisan ini bukan hendak memaparkan pandangan saya secara personal tentang sepakbola. Saya ingin menempatkan diri sebagai seorang political scientist secara profesional, dengan sebuah expert opinion: permainan sepakbola berskala dunia selalu mampu meredakan tensi politik, sekaligus mengalihkan perhatian orang dari masalah politik serius.
Parpol Seperti Apa?
Anak muda itu berdiri di podium. Gerak tubuh dan intonasi-nya amat meyakinkan. Kata-katanya tegas dan jelas. Pendengar di ruangan itu menatap takjub, saat pemuda berpeci hitam ini berucap, “Indonesia harus merdeka, sekarang. Sekarang, sekarang dan sekarang…!!!”. Hadirin bertepuk-tangan. Di luar ruangan, para telik sandi pemerintah kolonial mondar-mandir gelisah. Pemerintahan kolonial sedang berada pada keadaan amat stabil. Tuntutan merdeka, apalagi merdeka sekarang, amatlah berani.
Simalakama?
Tak ada yang mengejutkan: Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi akhirnya bersepakat untuk mendepak PKS. Pembangkangan PKS dalam rencana penaikan harga BBM minggu lalu rupanya membuat para petinggi partai-partai koalisi (PD, PG, PAN, PPP dan PKB) merasa PKS tak lagi layak menjadi bagian dari bagi-bagi kuasa yang mereka tengah nikmati.
Juga tak mengejutkan: pengusiran PKS dari koalisi ini tak segera menjadi pasti, karena Sang Prabu masih diam seribu-bahasa. SBY masih membisu. Mungkin Presiden sedang merenung. Dalam sejumlah hal yang memiliki persoalan dan implikasi cukup jelas pun, SBY kadang butuh waktu lama untuk memutuskan. Kini di depannya ada sebuah persoalan yang bisa menjadi simalakama politik. Kita tak perlu heran kalau SBY akan banyak menimbang-nimbang.
Calon Independen
Di masa Orde Baru dulu, Jawa Timur kerap disebut sebagai barometer stabilitas politik nasional. Pasca reformasi, DKI Jakarta makin menguat sebagai kawah candradimuka bagi parpol yang ada: menggembleng sekaligus menguji kekuatan mereka untuk berlaga di jagat politik nasional. Tak heran kita, pilkada DKI senantiasa akan menyedot perhatian politik nasional, sekaligus syahwat politik nasional para politisi.